Oleh : Redaksi EquatorNews
Di balik bukit sunyi dan aliran sungai yang kian keruh di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, bumi menyimpan rahasia berkilau emas. Tapi emas di sini bukan kemewahan, ia sakan akan menjadi kutukan. Ia menjelma jadi jaring raksasa yang membelit urat nadi masyarakat, dan meracuni bumi. Setiap jengkal tanah yang digali bukan hanya mengoyak perut bumi, tapi juga merobek harapan hidup anak cucu nanti.
Tambang emas ilegal, atau yang lebih sering disebut dengan PETI (Pertambangan Tanpa Izin), bukan hal baru di tanah Parigi Moutong. Ia seperti api dalam sekam, menyala diam-diam, tapi membakar seluruh sendi kehidupan. Sudah ratusan hektare sawah gagal panen. Sudah puluhan jiwa melayang dalam longsor tanpa berita utama. Sungai-sungai tidak lagi menjadi sumber kehidupan, melainkan jalur racun merkuri dan sianida.
Namun, setiap kali pemerintah berkoar akan menutupnya, tambang-tambang ini seperti hantu: hilang sejenak, lalu muncul di tempat lain. Kenapa?
Rakyat yang Terpaksa Jadi “Penjahat’ !
Dalam setiap dompeng yang meraung di kaki bukit Tirta Nagaya, Karya Mandiri, atau lobang-lobang tambang di Lobu, ada wajah-wajah nelangsa. Mereka bukan perampok alam. Mereka hanyalah petani yang ladangnya kering, buruh yang tak lagi dibutuhkan kota, dan anak muda yang kehilangan arah. Tambang ilegal menjadi semacam “pil pahit” yang harus ditelan agar dapur tetap berasap.
Menutup tambang berarti merenggut penghasilan mereka, tanpa mengganti dengan apa pun. Maka, tiap kali aparat datang dengan seragam dan senjata, warga lebih memilih menyembunyikan mesin ketimbang menyerahkannya. Ini bukan sekadar urusan hukum—ini soal hidup.
Cukong yang Memiliki Ajian Rawa Rontek !
Yang lebih menyesakkan, mereka yang paling diuntungkan dari tambang ilegal ini tidak pernah tampak di lumpur tambang. Mereka duduk di kota, mungkin dalam ruang berpendingin, menghisap cerutu kemenangan. Cukong-cukong dan pemodal tambang ibarat bayang-bayang panjang di senja hari, tak bisa mati, tak bisa disentuh, tak bisa ditangkap, ibarat pemilik ilmu hitam ajian rawa rontek
Beberapa warga percaya, ada “tangan kekuasaan” yang melindungi jalannya PETI. Mungkin oknum aparat, mungkin pejabat, atau mungkin pemilik modal yang terlalu dekat dengan lingkaran kekuasaan. Maka jangan heran jika alat berat bisa lenyap semalam sebelum operasi penertiban datang. Di tanah ini, rahasia lebih cepat menyebar ketimbang hukum ditegakkan.
Lingkungan yang Lambat Laun Mulai Hancur !
Bumi Parigi Moutong tak lagi subur. Airnya tak lagi jernih. Udara tak lagi segar. Hutan mulain menyusut, sungai sungai keruh, dan kehidupan laut di Teluk Tomini pun ikut menyuarakan keluh, lewat ikan-ikan yang pergi entah ke mana.
Namun suara-suara ini kalah keras dibanding dentum mesin dompeng dan alat berat. Kekayaan yang dulu diwariskan untuk generasi hari esok, dikuliti habis-habisan hari ini, demi kekayaan sesaat.
Disaat Petani Mulai Melawan !
Ada satu momen langka dalam sejarah tambang ilegal Parigi Moutong: ketika ratusan warga membakar mesin dompeng di Sungai Tada, Oncone Raya. Mesin-mesin itu bukan milik mereka, tapi milik para cukong yang mencemari irigasi sawah mereka.
Warga sudah terlalu lama diam. Tapi hari itu, mereka memilih menyulut api bukan hanya untuk memusnahkan alat, tapi untuk menyampaikan pesan: kami muak. Kami ingin tanah kami kembali. Kami ingin sungai jernih. Kami ingin anak kami bisa bercermin di air sungai, bukan menangisi kelaparan.
Emas Bukan Kutukan tapi Anugrah !
Parigi Moutong adalah cerminan, di mana hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, di mana alam diperas demi keuntungan sekelompok kecil orang, dan di mana rakyat “dipaksa” memilih antara lapar atau melanggar hukum.
Menutup tambang ilegal bukan hanya soal membongkar mesin atau menyegel lubang. Ia soal keberanian untuk menantang sistem yang busuk, menyembuhkan luka rakyat, dan menanam harapan baru—di mana perut bumi yang dulu digali dengan paksa.
Dan semoga, suatu hari nanti, emas bukan lagi kutukan dari bumi. Tapi logam mulia anugerah Ilahi buat disimpan, bukan untuk dirampok para cukong.