PARIGI, EQUATORNEWS — Alam Sipayo terus terluka. Guratan-guratan tajam di perut bumi Kecamatan Sidoan, Kabupaten Parigi Moutong, menjadi saksi bisu betapa rakusnya tangan manusia terhadap harta dari perut tanah. Suara mesin ekskavator yang kembali menderu di kawasan tambang tanpa izin (PETI) itu menandai satu babak baru dari kisah panjang yang belum juga menemukan ujung penyelesaian.
Dari balik kawasan hutan yang mulai hancur, aroma tanah basah bercampur solar kian pekat. Aliran sungai yang dulu jernih kini membawa lumpur ke hilir, menandai rusaknya ekosistem yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga pesisir.
Front Pemuda Kaili (FPK) bersama Aliansi Masyarakat Pesisir (AMP) Parigi Moutong menyoroti kembali maraknya aktivitas tambang ilegal di Desa Sipayo. Ketua FPK, Arifin Lamalindu, mendesak DPRD dan Satgas Gakum Kehutanan untuk membuka siapa aktor di balik praktik haram yang terus mencabik lingkungan itu.
“Kami mendesak DPRD agar berani membuka siapa aktor di balik praktik ilegal ini. Jangan hanya diam, karena persoalan ini sudah merugikan daerah dan masyarakat,” ujar Arifin kepada wartawan belum lama ini.
Menurut Arifin, lemahnya pengawasan dan ketegasan aparat Gakum serta DPRD menjadi celah bagi pelaku tambang ilegal untuk kembali beraksi. Ia juga menyoroti surat yang diterbitkan Kepala Desa Sipayo, yang disebutnya berisi kesepakatan pendapatan desa dari kegiatan tambang meski belum memiliki dasar hukum yang sah.
“Kalau IPR belum keluar tapi sudah ada kesepakatan, berarti surat itu ilegal. Harusnya kades bertindak berdasarkan WPR dan IPR, di mana masyarakat pemilik wilayah wajib masuk dalam koperasi. Tanpa itu semua, landasan hukumnya jelas cacat,” tegasnya.
Naiknya kembali alat berat di kawasan hutan Sipayo memperkuat dugaan adanya permainan di balik layar. Arifin menduga ada pihak yang membekingi kegiatan tersebut hingga tetap berjalan meski statusnya ilegal.
Ia menilai DPRD tidak cukup hanya mempersoalkan surat kepala desa, tetapi juga harus turun meninjau langsung kerusakan yang telah terjadi. Jalan produksi rusak, hutan hancur , dan sungai keruh menjadi saksi nyata dari dampak aktivitas PETI yang dibiarkan berlarut.
“Keberanian DPRD membongkar siapa di balik PETI Sipayo akan mengembalikan kepercayaan publik. Tapi jika mereka diam, jangan-jangan ada oknum DPRD yang justru ikut bermain,” pungkas Arifin.
Di tengah diamnya lembaga dan aparat, tanah Sipayo terus mengerang. Hujan turun membawa lumpur, bukan berkah. Sungai yang dulu memantulkan cahaya langit kini gelap oleh limbah tambang. Alam seolah menagih tanggung jawab, menunggu siapa yang berani menghentikan luka yang kian dalam di tubuh bumi Parigi Moutong.
FAYRUZ










