Diamnya Pemerintah, Bisingnya Tambang Ilegal, Warga Somasi Bupati Parigi Moutong!

Fayruz
Hartono Taharuddin SH MH. Foto : Istimewa

PARIGI, EQUATORNEWS – Dari tanah yang mestinya subur di tengah Sulawesi, kini menganga luka akibat tambang emas ilegal yang terus menjarah alam Parigi Moutong. Sungai-sungai keruh, hutan meranggas, dan petani kehilangan arah. Dalam sunyi yang lama terpendam, dua warga akhirnya angkat suara—bukan dengan amarah, tapi dengan jalur hukum.

Hartono Taharuddin dan Gugun, menggandeng Yayasan Rumah Hukum Tadulako untuk menyampaikan somasi kepada Bupati Parigi Moutong dan menggugat Gubernur Sulawesi Tengah melalui mekanisme Citizen Lawsuit (CLS). Langkah itu diambil karena mereka menilai pemerintah daerah gagal melindungi lingkungan dari gempuran tambang ilegal.

Somasi bernomor 052/RHT/IIV/2025 yang ditandatangani Hartono, SH MH, dan Ni Kadek Sri Wahyuni SH MH, menegaskan bahwa pemerintah kabupaten diduga lalai mengawasi dan menertibkan aktivitas pertambangan ilegal serta abai mengevaluasi Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang telah diterbitkan.

“Bupati punya tanggung jawab penuh untuk menghentikan tambang ilegal, mengevaluasi IPR, dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Jika tidak, itu adalah kelalaian yang melukai kepentingan rakyat,” bunyi salah satu kutipan dalam surat tersebut.

Tiga Tuntutan untuk Lingkungan yang Lebih Baik

Somasi tersebut memuat tiga tuntutan utama:

  1. Mengambil tindakan nyata dan tegas menghentikan semua aktivitas tambang ilegal serta menindak pelaku.
  2. Mendesak Gubernur Sulawesi Tengah untuk mengevaluasi seluruh IPR yang ada di Parigi Moutong dan mencabut yang bermasalah.
  3. Menyusun dan menjalankan rencana aksi pengawasan serta penertiban pertambangan, termasuk yang berizin, demi keselamatan lingkungan dan masyarakat.

Langkah Hukum: Dari Kabupaten Menuju Provinsi

Sebelum somasi ini dikirimkan, Hartono dan Gugun telah lebih dahulu menggugat Gubernur Sulawesi Tengah di Pengadilan Negeri Parigi lewat jalur Citizen Lawsuit (CLS). Mereka menilai adanya pembiaran sistematis terhadap aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang merusak alam dan mengancam kehidupan masyarakat Parigi Moutong.

Bagi mereka, diam bukan lagi pilihan. Ketika sungai menghitam dan sawah mengering, maka hukum harus menjadi suara bagi bumi yang bisu.

Batas Waktu 14 Hari, Jika Tidak ?

Yayasan Rumah Hukum Tadulako memberi tenggat 14 hari kerja sejak diterimanya surat tersebut kepada Bupati Parigi Moutong untuk merespons atau menunjukkan langkah konkret. Jika tidak diindahkan, mereka siap menempuh jalur hukum lanjutan.

“Kami akan terus memperjuangkan keadilan ekologis. Pemerintah tidak bisa tutup mata terhadap luka yang terus membesar di tubuh alam Parigi Moutong,” kata Hartono, S.H., M.H.

Somasi ini turut ditembuskan ke Pengadilan Negeri Parigi, Gubernur Sulawesi Tengah, serta DPRD Kabupaten Parigi Moutong.
FAYRUZ

Bagika Berita :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *