BALINGGI, PARIGI MOUTONG — Malam itu, hujan deras jatuh tanpa henti. Sungai yang selama ini menjadi sahabat warga berubah murka. Empat titik tanggul jebol, menumpahkan air bah yang menyapu sawah, rumah, bahkan satu mobil warga hanyut terbawa arus. Desa Balinggi Jati, Kecamatan Balinggi, lumpuh dalam genangan setinggi paha orang dewasa.
Rabu (20/8/2025), Wakil Bupati Parigi Moutong, H Abdul Sahid S.Pd, turun langsung menapaki jejak banjir di desa itu. Bersama Ketua DPRD, Drs Alfres M Tonggiro M.Si, keduanya menyaksikan luka yang ditinggalkan air: ratusan rumah terendam, lebih dari 400 hektar sawah rusak, dan 195 keluarga terpaksa meninggalkan rumah menuju tempat pengungsian sementara.
Ditemani Camat Balinggi, Mercel, serta Kepala Desa Balinggi Jati, I Wayan Antara, rombongan pemimpin daerah itu mendengar langsung keluh kesah warga. Mereka menuntut kepastian: makanan, dapur umum, dan jaminan agar banjir seperti ini tak lagi mengulang luka yang sama.
“Laporan ini akan segera saya sampaikan kepada Bupati. Kita akan hitung apa saja kebutuhan mendesak warga, bahkan kemungkinan mengganti jembatan lama dengan jembatan Bally yang lebih layak. Kami juga mempelajari opsi penghancuran batu karang besar di muara Sungai Topenau yang menghalangi aliran air,” janji Abdul Sahid, di hadapan para korban banjir.
Ketua DPRD, Alfres M Tonggiro, menimpali dengan janji lain: mengkaji ulang anggaran penanggulangan bencana di APBD Perubahan. Harapannya, alokasi baru bisa segera digelontorkan demi penanganan permanen, bukan sekadar darurat.
Namun di balik janji-janji itu, kehidupan warga masih tertatih. Jalan utama masih digenangi air, halaman rumah masih tergenang lumpur, dan bahan pangan yang terendam membuat perut-perut lapar menunggu uluran tangan.
Plt. Kalak BPBD Parigi Moutong, Mohammad Rivai, menyebut banjir mulai melanda sejak pukul 20.15 WITA, Selasa malam (19/8). “Laporan resmi Pusdalops kami terima pukul 20.39 WITA, saat itu sedikitnya 100 kepala keluarga sudah dievakuasi,” ungkapnya.
Kini, genangan memang mulai surut. Tapi yang tertinggal bukan sekadar air, melainkan kegelisahan: sampai kapan warga harus hidup di bawah bayang-bayang banjir setiap kali hujan mengguyur deras.
FAYRUZ










