Teks Berita:
PARIGI MOUTONG, EQUATORNEWS — Di bawah langit muram Kamis sore( 23/10/2025), suara gemuruh mesin alat berat memecah kesunyian di Bendungan Sigenti Barat, Kecamatan Tinombo Selatan. Seekor “raksasa besi” jenis ekskavator melintas pelan di atas jembatan sempit, menuju arah Desa Sipayo. Di sisi lain, seorang penjaga pintu air berdiri tegak, menahan laju alat berat yang hendak menembus kawasan bendungan menuju tambang ilegal.
Dialah Hustam Buraera, penjaga pintu air yang sudah dua puluh tahun menjaga aliran hidup bagi ratusan hektare sawah di bawah bendungan itu. Dengan tubuh renta tapi suara tegas, ia memutuskan menutup akses menuju tambang, demi menyelamatkan bendungan dari kerusakan lebih parah.
“Alat berat itu sudah berulang kali lewat, biasanya tengah malam saat warga tertidur,” tutur Hustam, matanya menatap retakan halus di dinding beton bendungan yang kini kian melebar.
Jalur yang dilalui alat berat kini tampak seperti luka terbuka. Tanah di tepi sungai longsor, badan jalan tergerus air, dan dinding bendungan menunjukkan tanda-tanda rapuh. Padahal, jalan itu hanya sanggup menanggung beban lima ton, sementara alat yang melintas berbobot puluhan ton.
“Saya terpaksa menutup jalan ini. Kalau dibiarkan, gorong-gorong bendungan bisa jebol, dan sawah-sawah di bawah sana akan kering,” katanya lirih namun pasti, kepada Tommy Noho wartawan Konteks Sulawesi.
Hustam menyebut, alat berat yang melintas diduga tak sekadar menembus malam tanpa arah. Ada aroma “koordinasi” di baliknya, antara operator alat berat dan sejumlah oknum pemerintah desa. Bisik-bisik di kalangan warga menyebutkan adanya setoran khusus agar kendaraan tambang bebas melintas.
Kerusakan di kawasan bendungan dikhawatirkan memutus aliran air yang menghidupi lebih dari tiga ratus hektare sawah di Tinombo Selatan. Jika bendungan ambruk, bukan hanya air yang hilang, tapi juga harapan para petani yang menggantungkan hidup dari tanah yang mereka bajak.
“Air dari bendungan ini adalah napas bagi kami semua. Kalau rusak, bukan cuma bendungan yang hilang, tapi masa depan petani juga,” ucap Hustam dengan nada getir.
Pantauan lapangan memperlihatkan sejumlah alat berat lain masih terus melintas melewati Desa Sigega dan Dusun Siage menuju arah tambang. Salah seorang pengawal yang juga menjadi penunjuk jalan mengaku, satu unit alat berat kini sudah beroperasi di lokasi tambang tanpa izin. Ia bahkan menyebut pihaknya telah mengantongi “izin resmi” dari pemerintah kabupaten.
Sementara itu, warga di sekitar bendungan hanya bisa menatap aliran sungai yang kini mulai keruh. Mereka tahu, bila raksasa-raksasa besi terus melintas tanpa kendali, tak lama lagi air yang selama ini menghidupi sawah dan keluarga mereka akan berubah menjadi lumpur keserakahan.
FAYRUZ










