PARIGI, EQUATORNEWS —
Di Lapangan Harimau Baliara, Jumat sore 28 November 2025, angin seperti ikut menahan napas ketika Putra TOBAR Toboli Barat dan Khatulistiwa Lemusa menutup laga tanpa gol. Pertandingan Liga 4 Indonesia Zona Parigi Moutong itu menjadi panggung keteguhan, tempat sepuluh pemain mencoba menantang logika sebelas.
Putra TOBAR, yang dikomandoi Coach Tasrif, sempat menguasai ritme permainan. Namun semuanya bergeser di menit ke-24 ketika bek kanan Khatulistiwa Lemusa, Muarif, diganjar kartu merah oleh wasit Darwis—pengadil yang tampil tegas dan rapi memimpin jalannya laga.
Dengan satu pemain kurang, Khatulistiwa Lemusa tak memilih mundur. Justru mereka yang menggeliat. Dari pinggir lapangan, Coach Aba M Nur berkali-kali melepaskan instruksi lantang, seolah menarik garis tak terlihat yang menjaga disiplin timnya tetap utuh.
Di bawah gawang, Rais, kiper senior yang sudah lama berkeliaran di panggung sepak bola lokal Parigi Moutong, tampil seperti penjaga gerbang terakhir yang tak ingin masa jayanya diringkas. Refleksnya mematahkan beberapa serangan Putra TOBAR; tangan tuanya tampak hafal arah bola sebelum bola memilih arah.
Ironisnya, justru Khatulistiwa Lemusa yang menghasilkan peluang paling berbahaya. Muhammad Arwan mencatat tiga kesempatan emas—tiga duel satu lawan satu yang membuat tribun sejenak menahan dengung. Namun ketenangan tak turut hadir, dan bola seakan memilih keluar dari skenario.
Hingga peluit panjang, skor tetap 0–0. Tidak ada gol, tetapi ada kisah yang tumbuh:
tentang tim yang menolak runtuh, pelatih yang tak berhenti menyusun perintah, dan kiper gaek yang kembali menunjukkan bahwa pengalaman kadang lebih pelan, tetapi lebih akurat.
Khatulistiwa Lemusa pulang tanpa kemenangan, namun mereka membawa sesuatu yang lebih sulit dicatat angka:
harga diri yang tetap tegak, meski hanya bersepuluh.
FAYRUZ










