PARIGI, EQUATORNEWS —
Di tengah derasnya arus tambang ilegal yang terus menggerus tanah-tanah subur Parigi Moutong, suara rakyat kembali menggema, kali ini dari seorang pemuda: Mohammad Irhan, aktivis muda yang menolak tunduk pada logika kekuasaan yang membiarkan penjarahan atas tanah surga Parigi Moutong.
Irhan menyampaikan kegelisahannya atas ancaman nyata krisis pangan global yang kian terasa. Ia mengingatkan bahwa ketahanan pangan bukan sekadar retorika pidato, melainkan medan tempur yang nyata.
“Pemerintah seharusnya menyiapkan barisan tani yang kuat,” tegasnya. “Yang pertama, jadikan tani sebagai pusat perhatian pembangunan peradaban. Kedua, bertani dengan riset dan pengetahuan. Terobosan harus dilakukan dari hulu ke hilir, mulai dari bibit unggul, irigasi cerdas, hingga pengolahan hasil panen.” tegasnya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Tanah surga di Parigi Moutong dibiarkan dilubangi tanpa belas kasih, oleh cukong pelaku tambang-tambang ilegal. Sungai-sungai tercemar, lahan-lahan terancam menjadi kering dan tandus, sementara beras sumber hidup rakyat kecil, mulai melejit menembus harga Rp15.000 per kilogram.
“Ini bukan lagi ironi, ini tragedi,” ujarnya lirih.
Dalam situasi seperti ini, rakyat tak tinggal diam. Sejumlah warga kini menggugat Gubernur Sulawesi Tengah atas dugaan pembiaran aktivitas tambang emas ilegal yang terus berlangsung tanpa kendali. Gugatan itu bukan sekadar tuntutan hukum, tapi jeritan batin yang tak mampu lagi ditahan oleh ketidakadilan yang merajalela di pelupuk mata. Mereka menolak hidup dalam bayang-bayang tambang ilegal yang hanya menyuburkan segelintir, tapi menyingkirkan yang banyak.
“Tambang emas bukan solusi,” tegas Irhan. “Solusi kemiskinan daerah ini adalah pertanian modern, kolaborasi antara petani dan ilmuwan. Kita butuh keberpihakan, bukan pembiaran,”serunya.
Seruan ini bukan hanya tentang petani, tapi tentang masa depan. Tentang anak-anak yang ingin tumbuh di tanah yang bersih dan subur. Tentang sebuah negeri kecil di ujung Sulawesi yang masih ingin berharap. Tentang peradaban yang tak dibangun di atas timbunan lumpur merkuri, sianida, dan keserakahan.
Pemda, hadirlah di tengah rakyatmu.
Bukan untuk menggunting pita tambang emas, tapi untuk memetik padi yang mensejahterakan orang banyak.
FAYRUZ