Tanah Surga Dirampas Cukong, Rakyat Bangkit Menggugat !

Fayruz

PARIGI, EQUATORNEWS – Ketika sungai tak lagi jernih, dan udara mulai kotor karena debu tambang, dua warga Kabupaten Parigi Moutong memilih berdiri, menggugat, dan bersuara. Gugun (26) dan Hartono (36). Dua nama biasa dari kampung yang terluka, kini menjadi wajah keberanian, menggugat Gubernur Sulawesi Tengah, atas dugaan pembiaran pertambangan emas ilegal, yang mulai merusak rimba, ladang, dan sungai-sungai kehidupan.

Gugatan Citizen Lawsuit itu resmi didaftarkan ke Pengadilan Negeri Parigi pada 11 Juli 2025, di bawah naungan Kantor Hukum Rumah Hukum Tadulako. Dalam gugatan itu, Gubernur disebut telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena dianggap lalai dan diam atas masifnya tambang tanpa izin di bumi Parigi Moutong.

“Negeri kami sedang sakit, tanah kami dicabik-cabik, air kami tak lagi layak teguk. Tapi mereka di atas diam — dan itulah yang kami gugat,” kata salah seorang penggugat, Hartono SH MH

Dalam dokumen gugatan yang penuh argumentasi hukum dan keluh kesah rakyat, para penggugat menuding Gubernur abai terhadap amanah Undang-Undang. Tambang-tambang ilegal disebut telah melanggar Tata Ruang Wilayah (RTRW), merusak Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), dan mengancam keberlangsungan hidup generasi masa depan.

Lebih dari sekadar pencemaran, gugatan ini menyoroti hilangnya kepercayaan, kesehatan yang terancam, dan alam yang menjerit. Para penggugat pun menuntut ganti rugi imateriel sebesar Rp 1 miliar, serta kompensasi langsung sebesar Rp 100 juta.

Isi petitum gugatan menuntut lima langkah tegas:

  1. Menghentikan seluruh aktivitas tambang ilegal di wilayah Parigi Moutong.
  2. Mengevaluasi ulang seluruh Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang telah diterbitkan.
  3. Melakukan pemulihan dan rehabilitasi lingkungan secara menyeluruh di area terdampak.
  4. Menyusun rencana aksi konkret dan terukur untuk mencegah kerusakan serupa di masa depan.
  5. Mengganti kerugian moril atas penderitaan masyarakat yang tak terdengar selama ini.

Gugatan ini menjadi babak baru dalam perlawanan masyarakat terhadap kerusakan ekologis yang dipelihara oleh pembiaran pejabat. Di tengah sunyinya suara-suara pejabat atas reruntuhan hutan dan aliran sungai yang menghitam, dua warga biasa memilih menjadi gema bumi yang terluka.

“Kami tak menuntut emas, kami hanya ingin tanah kami tetap bisa ditanami, sungai kami bisa diminum, dan anak cucu kami masih bisa tinggal di sini tanpa takut racun di air dan tanah,” ungkap Hartono, yang akrab dipanggil Lawyer Kece itu.

Kini, sorotan tertuju ke meja hijau di Parigi. Akankah gugatan rakyat ini menjadi tonggak penegakan keadilan lingkungan? Atau hanya akan “terkubur” seperti banyak aspirasi lain, di antara debu tambang dan bisu kekuasaan?
FAYRUZ

Bagika Berita :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *