Takhta dari Rakyat Mahkota dari Leluhur, Ketika Pengukuhan Adat Menguatkan Jalan Politik Erwin – Sahid di Parigi Moutong

Fayruz
Bupati Erwin Burase (Kuning) dan Wabup Abdul Sahid (Merah) dan Istri Masing - Masing, saat Pengukuhan Adat Suku Tialo di Mepanga. Foto : Bag Prokopim Setda

MEPANGA, EQUATORNEWS — Dalam balutan anyaman bambu, doa leluhur, dan taburan beras kuning, dua pemimpin terpilih Parigi Moutong tidak sekadar diarak sebagai pejabat pemerintahan, tapi dimahkotai sebagai bagian dari jiwa masyarakatnya. Di tengah prosesi sakral yang digelar Lembaga Adat Olongian Tialo di Kecamatan Mepanga, Sabtu (19/7/2025), gelar kehormatan adat disematkan kepada Bupati Erwin Burase dan Wakil Bupati Abdul Sahid — bukan sebagai simbol kosong, tapi sebagai afirmasi mendalam atas restu budaya kepada kepemimpinan mereka.

Gelar Tosia’ang Logase yang diberikan kepada keduanya, serta Tosia’ang Beine untuk para istri mereka, tak hanya menandai pengakuan terhadap pribadi, tetapi juga menyematkan legitimasi budaya atas kekuasaan yang telah diraih secara demokratis. Inilah persilangan yang jarang: suara rakyat bertemu suara leluhur.

Politik yang Berakar

Pasangan Erwin – Sahid bukan hanya menang di bilik suara. Mereka juga kini menang di ruang batin masyarakat adat. Dalam sebuah momentum langka, kekuatan politik dan kekuatan simbolik budaya saling mengukuhkan, membentuk pondasi yang kokoh bagi pemerintahan baru.

Bagi banyak tokoh politik, kemenangan sering berakhir saat surat suara dihitung. Tapi di Parigi Moutong, kemenangan itu justru diperpanjang dan diperkuat melalui simbol adat, yang dalam pandangan masyarakat Tialo adalah mahkamah spiritual tertinggi.

Dalam logika politik lokal, pengukuhan adat ini memberi pasangan kepala daerah keunggulan strategis: mereka tak hanya dipilih oleh rakyat, tetapi juga diterima sebagai bagian dari akar yang mereka pimpin. Ini bukan soal citra, tapi kedekatan emosional yang sulit dicapai oleh pemimpin luar budaya.

Restu Adat, Legitimasi Sosial

Di tengah gesekan sosial dan politik pasca PSU, gelar adat menjadi jembatan pemulihan. Ia menghadirkan narasi yang menyatukan: bahwa pasangan ini telah disahkan oleh dua poros kekuatan — demokrasi dan budaya. Simbol siga yang melingkari kepala mereka menjadi pengingat bahwa pemimpin harus teguh, adil, dan bertanggung jawab bukan hanya kepada partai, tetapi juga kepada tanah kelahiran.

Gambaran pemimpin yang diarak dalam kursi bambu, menapaki tangga lanjara dengan simbol-simbol alam yang penuh makna — dari pohon pinang, kepala buaya, hingga batu dan besi — mengirimkan pesan kepada rakyat bahwa jabatan ini bukan ruang nyaman, tapi medan pengabdian. Dan masyarakat pun melihat: ini bukan sekadar seremoni, tetapi kontrak moral antara pemimpin dan yang dipimpin.

Simbol yang Menggerakkan

Pengaruh dari pengukuhan ini diprediksi akan memperkuat posisi Erwin – Sahid dalam mengkonsolidasikan pemerintahan. Di desa-desa yang masih menjunjung tinggi adat, status bangsawan memberi keduanya jalan masuk yang lebih mulus untuk menyelaraskan program pembangunan dengan nilai-nilai lokal.

Instruksi Bupati agar seluruh kepala desa membentuk Lembaga Adat Desa memperlihatkan arah baru dalam pola kepemimpinan mereka — bahwa pembangunan tak akan dipaksakan dari atas, tetapi digerakkan dari akar budaya yang hidup. Dalam konteks politik, ini adalah upaya membangun legitimasi yang berlapis: dari struktur resmi pemerintahan dan dari lembaga-lembaga non-formal yang hidup dalam masyarakat.

Politik yang Menunduk pada Nilai

Ada pelajaran dalam momen ini: bahwa kekuasaan yang hanya bertumpu pada struktur formal rentan goyah, tetapi kekuasaan yang berakar dalam nilai, akan bertahan lama. Dalam wajah Erwin dan Sahid yang dibasuh sinar sore saat doa adat dilantunkan, tampak jelas — mereka tengah memikul sesuatu yang lebih dari jabatan: mereka memikul kepercayaan.

Dan dalam politik, kepercayaan adalah modal yang lebih berharga daripada sekadar suara.

Bukan Akhir Cerita

Pengukuhan ini bukan akhir dari seremoni, melainkan awal dari ujian. Gelar adat bisa jadi berkah, bisa pula beban. Tapi bagi Erwin – Sahid, ini adalah pesan kuat dari tanah yang mereka pimpin: bahwa rakyat telah memilih, dan leluhur telah merestui.

Kini tugas mereka adalah menjaga titah itu — agar mahkota yang disematkan tidak sekadar hiasan kepala, tetapi jadi penanda bahwa kepemimpinan sejati adalah keberanian untuk membumi dalam nilai, dan berjalan bersama rakyat, seutuhnya.
FAYRUZ

Bagika Berita :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *