Antara Bulir Padi dan Butir Emas: Parigi Moutong di Persimpangan Jalan !

Fayruz
Foto : Ilustrasi by AI

Oleh: Redaksi Equator

Di tanah subur yang bermandikan cahaya Sulawesi, Kabupaten Parigi Moutong berdiri ibarat gadis muda di simpang jalan: akankah ia menggenggam bunga padi di tangan kirinya, atau memungut butir-butir emas dari perut buminya yang kian terbuka?

Selama bertahun-tahun, nama Parigi Moutong harum karena lumbung padinya. Padi tumbuh di antara keringat petani, dan aliran irigasi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, kini semilir angin membawa aroma berbeda—aroma logam mulia, menggoda dan memabukkan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menetapkan enam Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di tanah ini. Di balik keputusan itu, berdirilah puluhan koperasi rakyat yang siap menambang emas demi sejumput harapan ekonomi baru. Tiga di antaranya, di Desa Buranga Kecamatan Ampibabo, telah resmi mengantongi Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Mereka menjadi simbol perubahan: dari cangkul sawah ke excavator tambang.

Di sisi lain, PT Trio Kencana;yang saat inindalam kondisi “Hidup Segan MatibTak Mau” telah lebih dahulu hadir di Kecamatan Kasimbar dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP), meski berada di luar kawasan WPR. Ini menambah warna lain dalam mozaik tambang Parigi Moutong — antara rakyat dan korporasi, antara izin rakyat dan konsesi besar.

Sementara itu, 27 koperasi lainnya kini berdiri di antrean, menanti restu dari langit birokrasi. Mereka bukan sekadar menunggu izin, mereka menunggu takdir: apakah mereka akan menjadi bagian dari sejarah baru, atau hanya catatan kaki dalam dokumen tambang nasional.

Namun tak semua bersorak. Masih ada yang bertanya lirih, “Apakah emas lebih mulia daripada sawah yang selama ini menghidupi kami?” Tanah yang dulu basah oleh air irigasi, kini mengering oleh lalu lalang alat berat. Sungai yang jernih mulai keruh. Udara membawa debu, bukan lagi aroma pagi dari ladang.

Pemerintah daerah pun gamang. Perda RTRW belum sepenuhnya sinkron dengan letak tambang. DPRD menggelar rapat, meminta waktu. Tapi di desa-desa, waktu terus berjalan—dan tambang mulai bergerak. Di atas meja kebijakan, benturan dua dunia itu terjadi: antara undang-undang pusat dan semangat kedaerahan.

Parigi Moutong kini ibarat sebilah timbangan kuno, dengan padi di satu sisi dan emas di sisi lain. Keseimbangan itu rapuh, namun masa depan ditentukan olehnya. Jika terlalu condong ke emas, bisa jadi yang tersisa hanya kerikil dan air mata. Tapi jika bertahan pada padi, mungkin kita menolak peluang modernisasi yang terbuka lebar.

Dalam senyap, rakyat menunggu. Apakah pemimpinnya akan memilih kilau sesaat, atau akar panjang yang menumbuhkan kehidupan?

Parigi Moutong, di dadamu kini bergetar dua nyawa: satu dari perut bumi, satu dari tanah yang ditanami. Maka siapakah yang akan kau pilih menjadi wajah masa depanmu?


Bagika Berita :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *