Dari Bulir Padi ke Butir Emas, Parigi Moutong “Banting Stir” Dorong Legalisasi Tambang Rakyat

Fayruz

PARIGI MOUTONG, EQUATORNEWS – Dari ruang rapat yang hangat di Kantor Bappelitbangda Parigi Moutong, suara lantang Wakil Bupati H Abdul Sahid S.Pd, mengalir seperti sungai emas yang tengah mencari muara, pemerintah tak bisa lagi membiarkan kekayaan alam dikeruk tanpa arah, tanpa hukum, tanpa kontribusi.

Dalam rapat Forum Penataan Ruang (FTR), Selasa (29/7/2025), Sahid menyerukan percepatan penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR)—sebuah langkah yang diyakini sebagai jembatan antara keberlangsungan hidup masyarakat dan kedaulatan fiskal daerah.

“Keberadaan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) ini bukan hal baru. Kita sudah di tengah proses. Yang kita butuhkan sekarang adalah solusi, bukan tarik-ulur masa lalu,” ucap Sahid, menegaskan niat baik yang bersandar pada kepentingan rakyat banyak.

Tiga titik pengusulan WPR—Buranga, Air Panas, dan Kayuboko, kata Abdul Sahid, telah diselaraskan dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tengah. Artinya, secara legal formal, fondasinya telah terbangun.

Namun tantangannya kini tak hanya di atas kertas, tapi bagaimana memastikan legalitas tambang berjalan seiring dengan keadilan dan kelestarian.

“Jika IPR resmi diterbitkan, maka pemerintah punya kuasa penuh untuk mengawasi, mengevaluasi, bahkan mencabut izin jika ditemukan pelanggaran,” tegas Abdul Sahid, dengan nada bijak namun bersih dari keraguan.

Menata yang Liar, Mengarahkan yang Benar

Abdul Sahid menyadari, tambang emas selama ini telah dikelola secara liar. Tak berizin, tak berpajak, tak berkontribusi. Padahal, di balik setiap bongkahan batu, ada potensi yang bisa menjadi denyut PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan penggerak kesejahteraan warga.

“Selama ini tambang dikelola tanpa kontribusi resmi. Kita kejar legalitasnya agar daerah punya hak memungut, dan masyarakat punya kepastian hukum,” ucapnya.

Ia pun mengajak seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk bersinergi menjaga agar tambang legal tidak menjelma jadi luka ekologis. Undang-undang, katanya, menjadi pagar, tapi pengawasan adalah kompas moral agar tak tergelincir.

“Saya pun tak ingin izin ini diberikan jika bertentangan dengan hukum. Tapi jika semua pihak duduk bersama, menyepakati aturan main, mengapa tidak? Demi masyarakat Parigi Moutong,” ujar Sahid, mengakhiri dengan suara yang mengandung harap dan tanggung jawab.

Tambang Bukan Sekadar Kekayaan, Tapi Titipan

Dalam pandangan Wakil Bupati, legalisasi tambang bukan semata soal surat izin, tapi soal perubahan nasib. Bukan hanya tentang emas yang digali, tapi juga tentang anak-anak desa yang bisa sekolah dari PAD yang adil. Tentang jalan yang bisa dibangun dari retribusi sah. Tentang masyarakat yang tak lagi dikejar hukum karena sekadar mencari makan.

Parigi Moutong hari ini berdiri di simpang jalan sejarahnya sendiri: apakah kekayaan akan tetap dikeruk dalam senyap, atau dikelola dalam terang, demi masa depan yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga berkelanjutan.

FAYRUZ/*

Bagika Berita :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *