JAKARTA, EQUATORNEWS – Di tengah riuh dinamika ketenagakerjaan nasional, sebuah suara lirih namun tegas datang dari sentral Sulawesi. Parigi Moutong tak ingin menjadi penonton dalam orkestrasi pembangunan tenaga kerja. Kabupaten yang dikenal dengan kekayaan alam dan semangat warganya itu, kini menapaki babak baru—menawarkan peta jalan (roadmap) ketenagakerjaan yang lahir dari denyut nadi desa dan denyut kebutuhan nyata di lapangan.
Audiensi strategis digelar di Ruang Rapat Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan RI, Senin (28/7/2025). Dipimpin langsung oleh Bupati H Erwin Burase S.Kom, Parigi Moutong menyampaikan empat usulan konkret yang tidak hanya teknokratis, tetapi berakar pada realita dan keresahan warganya.
“Isunya bukan semata pengangguran, tapi kualitas kerja dan ketimpangan akses pelatihan,” tegas Bupati Erwin, menyuarakan isi hati masyarakat pinggiran yang kerap luput dari peta kebijakan nasional.
Empat Pilar Perubahan dari Parigi Moutong:
- Pelatihan Vokasi Berbasis Potensi Lokal: Menyasar sektor unggulan seperti pertanian, perikanan, UMKM, dan digitalisasi desa.
- Pembangunan BLK dan Mobile Training Unit (MTU): Agar pelatihan hadir hingga ke pelataran pelosok.
- Digitalisasi Layanan Pasar Kerja: Dari kabupaten hingga desa, mempertemukan harapan pencari kerja dengan kebutuhan industri.
- Integrasi Job Fair Pusat dan Daerah: Diselaraskan dengan kompetensi lokal agar tak sekadar seremoni, melainkan solusi.
Data Badan Pusat Statistik 2025 mencatat, dari 348.938 penduduk usia kerja di Parigi Moutong, TPAK mencapai 74,68% dan TPT 2,10%. Meski tampak stabil, terdapat lebih dari 58 ribu jiwa bekerja tanpa upah sebagai pekerja keluarga. Angka itu menjadi cermin rapuhnya perlindungan kerja, dan rendahnya produktivitas di sektor informal.
Mendengar itu, Kementerian Ketenagakerjaan RI melalui perwakilan Sesditjen Lavotas menyatakan kesiapan untuk membangun sinergi program. “Kami membuka ruang kolaborasi lebih lanjut dengan Parigi Moutong,” ujar perwakilan Sekjen Kemnaker Prof Dr Cris Kuntadi.
Turut mendampingi dalam forum tersebut: Sekda Zulfinasran, Kadisnakertrans Hendra Bangsawan, Plt. Kadinsos Tri Nugrah Adiyarta, dan sejumlah anggota DPRD Parigi Moutong. Sebuah bukti bahwa langkah ini bukan sekadar narasi elit, tapi gerakan kolektif daerah.
Menggugat Ketimpangan, Menawarkan Rancangan
Langkah Parigi Moutong menjadi penanda zaman: daerah tak lagi bergantung penuh pada aba-aba pusat. Di tengah ketimpangan infrastruktur dan keterbatasan fiskal, mereka memilih jalan terjal: membawa data, menyusun strategi, dan mengusulkan desain kebijakan sendiri.
Transformasi ketenagakerjaan, jika hanya dibangun dari pusat ke daerah, akan selalu menyisakan ruang hampa. Sebaliknya, ketika suara dari desa mulai menggema hingga meja birokrasi pusat, maka harapan akan keadilan kerja bukan lagi mimpi kosong.
Dalam konteks ini, Parigi Moutong menulis sebuah puisi kebijakan: bahwa negara harus hadir di desa, bukan sekadar lewat bantuan, tetapi lewat sistem, kolaborasi, dan keberpihakan nyata.
FAYRUZ/BAG PROKOPIM SETDA/DISKOMINFO