Pilih Emas atau Beras? Ketika Status Lumbung Beras Itu Terancam Hilang

Fayruz
Foto Ilustrasi Tambang Emas yang Mulai Merambah Areal Persawahan - Foto : By Gemini AI

PARIGI, EQUATORNEWS – Kabupaten Parigi Moutong selama ini dikenal sebagai lumbung beras utama Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan areal persawahan terluas dan tingkat produksi padi tertinggi di wilayahnya, Parigi Moutong telah menjadi penopang ketahanan pangan lokal selama bertahun-tahun.

Namun kini, status tersebut terancam hilang. Penyebabnya: maraknya aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang menjamur di berbagai kecamatan sentra pertanian.

Ketika Lumpur Menggenangi Lumbung

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, Kabupaten Parigi Moutong mencatat luas panen mencapai 252.698 hektare dengan produksi padi sebesar 52.641 ton. Namun pencapaian itu tidak mencerminkan kenyataan lapangan yang kian memprihatinkan.

Aktivitas tambang emas ilegal—khususnya di Kecamatan Moutong, Taopa, Ongka Malino, Tinombo Selatan, hingga Parigi Barat ,—mengakibatkan irigasi pertanian tersumbat lumpur, aliran air terputus, dan sawah-sawah menjadi tak lagi produktif. Bahkan di Kecamatan Moutong, tercatat sekitar 1.700 hektare sawah gagal panen akibat dampak langsung PETI.

“Air sudah tidak mengalir ke sawah kami. Lumpur tambang menutup semua jalur irigasi,” keluh seorang petani di Desa Pombalowo, Kecamatan Parigi. Sekitar 50 hektare sawah di desa ini dikabarkan kini tidak bisa lagi diolah karena tak mendapat pasokan air.

Dampak Berantai PETI: Dari Lingkungan Hingga Kehidupan.

PETI tidak hanya merusak lingkungan dan lahan pertanian. Penggunaan merkuri dan alat berat dalam aktivitas ilegal itu mencemari sumber air, merusak ekosistem, bahkan menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang. Di beberapa desa, masyarakat mulai mengeluhkan air keruh, gagal panen, serta menurunnya hasil panen yang tersisa.

Wilayah sentra beras seperti Sausu, Tinombo Selatan, Ongka Malino, Bolano Lambunu, dan Parigi, —yang selama ini menopang ketahanan pangan lokal—terancam kehilangan fungsinya. Di sisi lain, pemerintah pusat sedang gencar menjalankan program swasembada pangan sebagai langkah antisipasi krisis global.

Petani Melawan, Pemerintah Masih Gamang!

Aksi penolakan terhadap aktivitas tambang ilegal semakin sering terdengar. Di Tinombo Selatan, dan Taopa, sejumlah petani dan warga melakukan aksi damai sebagai bentuk protes terhadap kerusakan irigasi yang mengancam hasil tanam mereka. Sejumlah organisasi lingkungan juga telah menyerukan penghentian PETI secara total.

Namun demikian, penegakan hukum dinilai masih lemah. Meskipun telah ada Peraturan Daerah (Perda) tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) untuk melindungi lahan dari alih fungsi, implementasinya belum berjalan maksimal.

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulawesi Tengah, Nelson Meutubun, mengakui ancaman tersebut. Ia menegaskan bahwa lahan pertanian harus dijaga, dan Perda LP2B seharusnya menjadi benteng terakhir untuk mempertahankan fungsi lumbung pangan.

Parigi di Persimpangan Jalan: Emas atau Beras?

Dilema antara keuntungan cepat dari tambang dan keberlanjutan pangan jangka panjang kini menjadi pertanyaan besar. Di satu sisi, tambang ilegal menawarkan iming-iming kekayaan instan. Di sisi lain, kerusakan yang ditimbulkannya berpotensi menghancurkan sumber penghidupan ribuan keluarga petani.

Parigi Moutong pernah menjadi contoh keberhasilan pertanian di kawasan timur Indonesia, bahkan menjadi salah satu pelaksana program intensifikasi IP400 (empat kali tanam padi dalam setahun) dengan pertumbuhan signifikan dari 6.000 hektare menjadi 8.500 hektare hanya dalam waktu satu tahun. Tapi capaian ini bisa lenyap bila PETI terus dibiarkan.

Masa Depan yang Harus Dipilih.

Kini, Parigi Moutong berada di persimpangan sejarah. Apakah akan mempertahankan identitasnya sebagai lumbung beras, atau membiarkan lahan-lahan subur tenggelam dalam lumpur tambang?

Pilihan ada di tangan pemerintah, masyarakat, dan semua pemangku kebijakan. Tapi waktu tidak menunggu. Jika tidak ada tindakan nyata sekarang, maka bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, julukan “lumbung beras Sulawesi Tengah” hanya tinggal kenangan yang terkubur bersama debu emas.

Oleh : FAKRUDIN

Bagika Berita :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *