Sosok  

Erwin Burase dan Kotak Pandora Tambang Rakyat

Fayruz
Ketua Umum LMP Kabupaten Parigi Moutong , Fadli Arifin Azis SH.( Foto : Ist)

Oleh: Fadli Arifin Azis, SH
Ketua Markas Cabang LMP Kabupaten Parigi Moutong

Langkah Bupati Parigi Moutong yang meminta DPRD membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki perubahan jumlah titik Wilayah Pertambangan dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dari 16 menjadi 53 titik, merupakan sikap berani yang patut dihargai.

Permintaan tersebut bukanlah bentuk pengalihan tanggung jawab, melainkan wujud komitmen terhadap asas transparansi, akuntabilitas, dan pemerintahan yang bersih.

Sebagai kepala daerah, Bupati memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan setiap dokumen resmi—terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam dan kepentingan publik—sesuai prosedur dan keputusan yang sah. Ketika ditemukan adanya perbedaan antara lampiran resmi (16 titik) dengan dokumen yang beredar (53 titik), maka langkah paling bijak adalah meminta lembaga representatif rakyat, DPRD, untuk turut membuka tabir persoalan tersebut.

Pembentukan Pansus bukanlah tudingan, melainkan mekanisme konstitusional untuk mencari kebenaran secara terbuka dan objektif. Dengan begitu, publik dapat mengetahui secara jelas siapa yang bertanggung jawab atas perubahan tersebut—tanpa prasangka, tanpa menutup-nutupi fakta.

Justru melalui sikap seperti inilah Bupati menunjukkan bahwa dirinya tidak anti kritik, tidak alergi terhadap transparansi, dan tidak ingin menyapu persoalan ke bawah karpet. Ia menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan politik.

Membuka ruang penyelidikan bersama DPRD berarti membangun kepercayaan publik dan memperkuat sistem pengawasan yang sehat di daerah. Langkah ini layak disebut sebagai tindakan kenegarawanan di tingkat lokal—menegakkan integritas pemerintahan sekaligus memastikan bahwa setiap keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam berjalan sesuai aturan, tanpa permainan di balik meja.

Setelah menelaah dinamika yang terjadi, saya berpendapat bahwa jika pada tahap awal Bupati tidak melibatkan DPRD, hal itu bukanlah kesalahan hukum, melainkan semata kekurangan dalam komunikasi politik.

Selama pengusulan titik WPR masih bersifat teknis dan sementara, maka langkah tersebut masih dapat dibenarkan secara administratif. Pengusulan WPR memang merupakan bagian dari fungsi eksekutif, yaitu kewenangan Bupati sebagai kepala daerah—bukan ranah legislasi DPRD. DPRD baru berperan ketika sudah menyangkut kebijakan yang berdampak fiskal, penganggaran, atau penetapan peraturan daerah.

Dengan demikian, secara normatif dan administratif, tidak ada yang keliru apabila Bupati mengusulkan WPR kepada Gubernur tanpa melalui DPRD, sepanjang usulan itu didasarkan pada kajian teknis dinas terkait dan mengikuti mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kelas seorang Erwin Burase tampak di sini. Mengusulkan pembentukan Pansus justru membuka peluang untuk mengungkap siapa saja yang bermain di balik perubahan dokumen tersebut.

Jika ada pihak yang menolak, justru penolakan itulah yang akan memperlihatkan kegugupan—apakah berasal dari oknum di lingkaran pemerintahan, ASN, maupun pihak luar yang selama ini menikmati bayang-bayang tambang.

Bagika Berita :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *