Polemik 53 titik Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Kabupaten Parigi Moutong kini bukan lagi sekadar soal data, tapi soal wibawa dan kejujuran pemerintahan.
Oleh : Faradiba Zaenong
Awalnya, publik hanya mendengar bahwa Bupati mengetahui 16 titik usulan WPR. Namun, dalam dokumen resmi yang ditandatangani langsung olehnya, jumlah itu melonjak menjadi 53 titik.
Pertanyaannya sederhana — siapa yang menambah? atas dasar apa? dan mengapa Bupati bisa menandatangani tanpa tahu isinya secara utuh?
Di titik inilah publik mulai ragu: apakah birokrasi di Parigi Moutong masih berjalan di atas sistem, atau hanya berdasarkan kedekatan dan permainan kepentingan di belakang meja?
Sayangnya, setiap kali publik menunggu penjelasan yang menenangkan, yang keluar justru pernyataan blunder — saling bantah, saling klarifikasi, dan saling salahkan.
Padahal rakyat hanya butuh satu hal: kepemimpinan yang tegas dan tahu apa yang sedang terjadi di bawah tanggung jawabnya.
Sebagai kepala daerah, Bupati semestinya menjadi penenang badai, bukan bagian dari pusarannya.
Kalau memang ada manipulasi atau kesalahan internal, selesaikan secara tertutup dan bermartabat. Jangan jadikan ruang publik sebagai tempat cuci tangan dan lempar kesalahan.
Karena semakin sering pejabat berbicara tanpa arah, semakin jelas terlihat retaknya koordinasi dan lemahnya kontrol dalam pemerintahan ini.
Dan jika ini dibiarkan, bukan cuma kredibilitas yang runtuh — tapi juga kepercayaan rakyat yang selama ini masih bertahan karena harapan.
Masalah 53 titik WPR seharusnya menjadi momentum koreksi, bukan panggung pencitraan.
Karena pada akhirnya, kepemimpinan tidak diukur dari seberapa keras seseorang membela diri, tetapi seberapa tenang ia menuntaskan kekacauan yang dibuat oleh sistemnya sendiri.
Dan bila Bupati masih terus sibuk berbicara di depan media, sementara masalah di meja kerja tak kunjung dibereskan —
maka rakyat berhak bertanya:
Apakah Parigi Moutong masih dipimpin, atau hanya sedang dipertontonkan?
Penulis Adalah Ketua KADIN Kabupaten Parigi Moutong










